Setiap diri pasti
berkeinginan untuk mempunyai rumah. Keinginan itu diwujudkan dengan
beragam cara: menabung, KPR, warisan, atau hadiah. Rumah yang paling
membanggakan tentu rumah yang diperoleh dengan cucuran keringat sendiri.
Diawali kemampuan kita membeli tanah. Lalu, kita pun berencana untuk
membangun rumah idaman itu. Kita siapkan gambar, estimasi biaya
pembangunan, dan seni interior serta eksteriornya.
Rumah yang kita bangun akan menjadi lebih baik jika digambar atau dikonsep.
Setidaknya, gambar akan mengilustrasikan bentuk dan suasananya. Ketika
gambar sudah dianggap baik, kita lanjutkan dengan menabung bahan
bangunan. Bolehlah kita menitip tabungan ke toko bangunan.
Kita pun mulai membangun rumah. Kita bangun pondasi yang kokoh.
Terlebih, jika rumah itu berbentuk vertical atau bertingkat. Semua
titik harus menggunakan cakar ayam. Dari pondasi itu, kita akan
memperoleh gambaran awal bahwa rumahku akan mempunyai sekian kamar.
Dapur dan kamar mandi terletak di pojok. Dan seterusnya….!
Ketika rezeki datang, kita pun melanjutkan pembangunan dengan menyusun bata untuk dindingnya. Dengan susunan yang rapih, bangunan itu akan terlihat indah dan kokoh. Akhirnya, semua dinding terselesaikan. Program rumah itu dilanjutkan dengan memberikan genteng yang bagus. Kita harus memilih genteng yang antipecah, ringan, dan tidak bocor. Jika dikehendaki, genteng itu berwarna mencolok agar menjadi identitas rumah kita. Rumah kita bagus sekali, bukan?
Sudahkah rumah kita
layak huni? Belum. Disebut rumah jika ada isinya. Kita tentu tidak
bersedia menempati rumah kosong. Rumah yang baik adalah rumah yang
“kotor” karena banyak perabotnya. Kita pun berbelanja peralatan rumah.
Kita susun sofa, buffet, meja makan, dan beragam asesoris rumah. Nah,
ini baru rumah idaman.
Sebenarnya, hidup itu juga seperti rumah.
Kita hidup tidak boleh sekadar hidup. Kita harus mempunyai gambar yang
jelas tentang hidup kita. Ketika gambaran hidup yang baik diperoleh,
kita isi hidup itu dengan membangun prinsip dan keyakinan yang matang. Kita tidak boleh setengah hati untuk melakukan segalanya. Jika bersikap setengah hati, hasilnya pun pasti juga hanya setengah.
Keyakinan yang kuat tentang masa depan akan menjadi pegangan hidup.
Kita melangkah untuk meraih cita didasarkan pada pondasi keyakinan itu.
Bukankah Tuhan menentukan hasil kita seperti isi batin kita? Isi hati
(niat) atau batin kita harus berkualitas.
Niat saja belum cukup. Kita bangun niat itu dengan kinerja yang baik.
Kita harus berniat segalanya untuk mencari “sekadar” kehebatan Tuhan.
Bekerjalah semata untuk beribadah. Hendaknya dijauhkan dari niat bahwa
bekerja itu mencari uang. Uang itu bukan tujuan, melainkan akibat sebuah
perbuatan.
Ketika kinerja sudah dinilai baik, kita hiasi diri kita dengan pesona. Tunjukkanlah kelebihan positif kita sekadar untuk memotivasi.
Hendaknya dijauhkan dari perasaan sombong. Ketika kita sudah mampu
menunjukkan pesona diri, orang akan menilai diri kita: pribadi
berkharisma nan bersahaja.
Seperti pesan bijak nenek moyang, meraih itu lebih mudah daripada mempertahankan.
Ketika nama baik sudah diperoleh, kita berkewajiban untuk menjaga
raihan itu. Untuk menjaga kharisma itu, kita perlu menanamkan kebaikan
tanpa mempertimbangkan perbedaan. Kita ringankan kaki untuk membangun
semangat berbagi. Jika itu sudah dilakukan, tampaklah kini rumah kita yang sebenarnya: kokoh, indah, berpenghuni, dan terjaga. Itulah konsep baiti jannati yang hakiki. Nah, seperti apakah rumah Anda?Sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2010/06/18/filosofi-sebuah-rumah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar